Garoetpos.com– Ciri Khas santri di pesantren adalah humor yang terkadang dibumbui saling ledek. Ledekan yang menunjukan sikap toleran, sehingga terasa segar dan sarat kebersamaan.
Bagi sebagian besar kalangan umat Islam Indonesia tentu sudah paham jika di negara kita ada dua organisasi besar, yaitu NU dan Muhammadiyah. Keduanya dalam beberapa hal, terutama tentang fiqih sering kali berseberangan. Salah satunya soal tahlilan.
Dikutip dari Republika.co.id, warga Muhammadiyah tentu tidak tahlilan karena alasan sederhananya tidak dicontohkan Nabi Muhammad. Sementara Orang NU menganggap, tahlilan adalah tradisi yang baik yang bisa mempererat silaturahim.
Meski tidak ikut tahlilan, biasanya warga Muhammadiyah tetap datang ketika ada tetangga yang mengundangnya untuk tahlilan memperingati tiga hari atau tujuh hari orang meninggal. Jika warga Muhammadiyah datang ke tahlilan lebih kepada tenggang rasa.
Jika dahulu warga Muhammadiyah dan orang NU sulit disatukan, saat ini cenderung mencair. Seperti cerita warga Muhammadiyah yang ikut tahlilan tetangganya tersebut, mereka datang tetapi tetap tidak makan, minum, dan membawa pulang berkat seperti halnya jamaah yang lain.
Biasanya orang NU yang mengundang tidak akan marah melihat berkatnya dianggurin. Yang terjadi malah keluar guyonan.
“Mas kok gak dibawa berkatnya,” kata orang NU.
“Gak apa-apa, Mas,” jawab warga Muhammadiyah
“Mas, kalau gak mau bawa pulang, kita makan di tempat aja berkatnya,” ledek orang NU yang dijawab tertawa warga Muhammadiyah.
Sikap toleran orang NU dan Muhammadiyah tersebut mengingatkan pengalaman menarik yang pernah dilakukan dua tokoh ulama NU dan Muhammadiyah, yaitu Prof Hamka dan KH. Idham Kholid saat menjadi imam shalat.
Ketika Prof. Hamka menjadi iman shalat Subuh dan KH. Idham Khalid makmumnya, Prof. Hamka pada rakaat kedua sebelum sujud membaca doa qunut. Nah, usai shalat KH. Idham Khalid bertanya,” kenapa Prof membaca qunut”. Prof. Hamka menjawab” kan makmunnya pak kiayi”.
Sebaliknya saat KH. Idham Khalid menjadi imam shalat Subuh dan Prof. Hamka jadi makmumnya, maka KH. Idham Khalid tidak membacakan doa qunut.
Itulah indahnya toleransi dan kebersamaan, yang justru dilakukan oleh tokoh besar NU dan Muhammadiyah dan terus menular kepada ummatnya. (*)