Garoetpos.com – Sore itu sahabat kecilku yang bernama Diandra. Aku biasa memanggilnya andra, kita masih sodara tepatnya dia adalah pamanku tapi usia kita tak begitu jauh, dia adalah sahabat kecil yang setiap pagi pasti sudah teriak di depan rumah dan mengajakku melakukan hal konyol layaknya usia kita, ke perkebunan, memetik beberapa sayuran dan menangkap belalang.
Tapi entah kenapa hari itu ku merasa semua sudah tidak lagi begitu menyenangkan, hanya bosan.
“Kamu kenapa Nurul?” Tanya andra.
“Gak kenapa-napa andra, ku hanya merasa bosan.”
Tiba-tiba andra menarik tanganku dan mengajakku berlari ke perkebunan, begitu banyak yang dia bicarakan. Tentang hijaunya daun teh, embun yang singgah, kabut yang menghalangi pandangan, indahnya gunung dan posisi kita yang sedang berada di kakinya, dingin air yang langsung berasal dari gunung, angin yang begitu menusuk ke badan kita.
“Mana yang membosankan, dasar bodoh.” Andra sambil mengusap kepalaku dengan sangat kencang.
“Lihat ini bocah bodoh.” andra sambil memegang kedua pipiku.
Akupun langsung teriak ke andra“ Bulan depan aku sudah tidak lagi disini andra “ akupun menangis ke Andra.
“iya, aku tau.” Andra sambil tersenyum.
“Kenapa kamu pura-pura gak tau?” nada kesalku pada Andra.
Tiba-tiba ada seekor kupu-kupu terbang. Lalu hinggap lagi, berkali-kali begitu. Seakan sedang melakukan atraksi untuk menghiburku, dan itu benar. Aku dan andra pun tertawa sangat lebar.
Yah, bagiku Andra adalah sosok kakak laki-laki yang selalu melindungi. Itu yang keluarga ceritakan. Pernah dulu ku terjatuh, eh malah Andra yang nangis dan nolongin.
Baru kupahami sekarang. Sebenarnya semua tidak sesulit dan serumit yang di pikirkan, alam pun masih begitu sangat indah. Tidak hanya disini kita bisa menikmati rasa tenang, karena tetap saja akhirnya ku harus pergi meninggalkan belalang-belalang, sejuknya perkebunan teh, para pemetik daun teh, dinginnya air pegunungan yang masih jernih dan gunung yang begitu terlihat jelas.
Dan sudah tiba waktunya ku harus berkemas dan meninggalkan semuanya, bersiap dengan keadaan dan orang-orang baru, tak ada lagi kehidupan pedesaan yang begitu tenang, begitupun dengan sosok Andra si pelindung yang menyebalkan. Yang ada hanya kehidupan hiruk pikuk kota dengan kemacetan, panas dan orang yang serba modern begitupun permainannya.
Keluarga sudah mulai berkumpul, beberapa anggota keluarga memelukku dengan tangisan. Dan Andra menahan sedihnya dan mengusap kepalaku dan memberikan 3 helai daun teh perkebunan.
Bersambung…
Lanjut Part 3