Oleh Hasanudin
Koordinator SIAGA ’98
Garoetpos.com – Jokowi dan Nawacita identik. Namun, indentikasi ini mengalami ketidakmenyatuan di penghujung menjelang akhir masa jabatannya pada tahun 2024.
Tubuh Jokowi terlepas dari Ide Nawacitanya justru disenjakala jabatannya. Ironisnya, ketidakmenyatuan ini, bukanlah disebabkan kesadarannya, melainkan ada roh lainnya yang merasuki tubuhnya.
Roh Investasi Asing dan Demokrasi Liberal telah masuk jauh kedalam tubuh sang Presiden. Roh Investasi Asing mencapai puncak ekstasenya pada pemindahan Ibu Kota Negara, dihembus-hembuskan, dicari-cari pintu masukknya kedalaman wilayah kedaulatan, kemandirian dan kepribadian simbolik Ibu Kota Negara, setelah sebelumnya bergerilya di tanah tak bertuan infrastruktur.
Tak sampai disitu, muncul roh varian baru yang tak lagi mengenal protokol politik nasional. Jaga Jarak kedaulatan, Masker Nasionalisme, dan vaksin kemandirian, roh itu bernama Demokrasi Liberal !.
Atas nama kebebasan berdemokrasi, dihembuskan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, yang berakibat Jokowi kehilangan identikasinya sebagai manusia yang berdaulat, berkepribadian dan mandiri.
Nawacita dibegal oleh lingkungan sosial sekitarnya. Manusia (Jokowi) pada dasarnya baik, sebagai tabularasa kedaulatan, kemandirian dan kepribadian Indonesia.
Sebagai kertas kosong padamula, menjadi tercoret takterurai disenjakalanya oleh lingkup sosialnya, roh disekitar Istana.
Manusia Jokowi yang dilahirkan oleh Suatu Partai Politik telah berusaha mengingatkan Sang Anak tersebut, tetapi apa ia mau kembali kepangkuan Ibunda yang melahirkannya?, distuasi senjakalanya yang terkepung Investasi Asing dan relasi sosial Demokrasi Liberal.
Perlu mantra-mantra yang didengungkan pada telinga sang tubuh, agar jiwa dan tubuhnya kembali menyatu:
“Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”. (*)