Garoetpos.com – Belakangan ini ancaman terhadap kebebasan pers semakin menjadi-jadi. Di tengah padatnya pertumbuhan media digital saat ini, serangan terhadap kerja wartawan justru datang dari berbagai arah. Tak hanya ancaman fisik dan pemidanaan, kini wartawan juga mesti menghadapi serangan siber hingga disinformasi.
Kekerasan dan ancaman terhadap jurnalis itu dianggap mencoreng kebebasan pers. Tak mengherankan bila Reporters Without Borders baru-baru ini melaporkan bahwa indeks kebebasan pers Indonesia berada di angka 49,27, turun dari 62,60 pada tahun sebelumnya. Dari 180 negara, peringkat Indonesia melorot dari 113 ke 117. Untuk urusan kebebasan pers, Indonesia bahkan berada di bawah Timor Leste, Malaysia, dan Thailand.
Sangat disayangkan, 23 tahun setelah reformasi, jurnalis di Indonesia belum sepenuhnya bebas menjalankan fungsinya. Di Papua, misalnya, wartawan belum sepenuhnya bisa mengungkap fakta. Pemberitaan perihal topik-topik tertentu, seperti LGBT dan pernikahan anak di bawah umur, masih dianggap tabu. Di berbagai daerah, jurnalis yang menginvestigasi kasus korupsi lokal bahkan sering menghadapi intimidasi dan kekerasan fisik dari aparat keamanan. Begitu pula dengan jurnalis yang meliput isu kerusakan lingkungan.
Kasus kekerasan dan ancaman terhadap kebebasan pers itu semakin buruk dalam lima tahun terakhir. Untuk tahun lalu saja, Aliansi Jurnalis Independen mencatat setidaknya ada 43 kasus kekerasan, dari teror dan intimidasi, kekerasan fisik, hingga pelarangan liputan. Pada saat yang sama, wartawan juga menghadapi serangan digital dan penuntutan hukum. Ruang kebebasan pers yang menyempit ini mencerminkan kualitas demokrasi kita.
Maraknya penuntutan hukum tak lepas dari keberadaan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satunya lewat Pasal 27 ayat 3 yang mengatur ihwal penghinaan atau pencemaran nama, dengan ancaman maksimal 7 tahun penjara. Undang-undang yang semula diniatkan untuk mengatur pelbagai kejanggalan transaksi elektronik itu malah menjadi senjata untuk membungkam dan memidanakan jurnalis.
Tantangan semakin berat dengan kehadiran pasukan siber. Tidak hanya mengaburkan fakta dan mengatur arah pembicaraan di media sosial, para pendengung bayaran ini kerap menjadi motor serangan terhadap media dan jurnalis. Salah satunya lewat doxing, pengungkapan identitas dengan tujuan persekusi, sekaligus untuk merusak kredibilitas jurnalis serta mendelegitimasi karya jurnalistik yang dihasilkan.
Sayangnya, pelaku berbagai serangan itu nyaris tak pernah terungkap. Padahal SAFEnet mencatat ada 13 kasus doxing yang dialami jurnalis Indonesia pada 2017-2020.
Selama masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo gagal menepati janjinya menjamin kebebasan pers. Negara bahkan membiarkan persekusi terhadap jurnalis terus terjadi. Ini tentu sangat memprihatinkan.
Kekerasan dan ancaman terhadap pers, apa pun bentuknya, harus dihentikan. Bila kekerasan dan persekusi terus dibiarkan, dampaknya sangat besar. Menyempitnya kebebasan pers membuat publik tak bisa lagi memperoleh informasi yang akurat dan tepercaya. Tanpa kebebasan pers dan kemerdekaan berpendapat, negara semakin semena-mena.
Sumber : Tempo
Editor : Adis Cahyana