Garoetpos.com – Angka korupsi politik di Kabupaten Garut sejak awal reformasi 1998, kualitas dan kuantitasnya hingga kini cenderung naik. Pola korupsi pun dilakukan dengan melibatkan DPRD dan birokrat, mulai perencanaan anggaran, penempatan pejabat, hingga realisasi anggaran.
Hal itu ditenggarai pegiat anti korupsi yang juga Sekjen Garut Goverment Watch (GGW) Agus Sugandi tiga tahun yang lalu ketika berharap pihak Kejaksaan Negeri Garut menuntaskan kasus dugaan korupsi Fokir DPRD Garut.
Harapannya itu kini mulai ada titik terang menyusul penggeledahan yang dilakukan Kejaksaan Negeri Garut, Rabu (10/8/2022) di Gedung DPRD Garut atas dugaan korupsi Anggaran BOP dan Reses yang melibatkan pimpinan dan anggota DPRD Garut 2014-2019.
Lambannya penanganan korupsi di DPRD Garut bagi Agus Sugandi bukan hal yang aneh. Masalahnya, aparat penegak hukum kalah cepat dibanding dengan dinamika aktor korupsi itu sendiri dalam penyelamatannya dari jeratan hukum.
Hal lainnya yang menghambat laju proses penuntasan kasus korupsi DPRD, kata Agus Sugandu karena adanya Markus. Untuk itu, pihaknya mendukung Kejaksaan Negeri Garut yang sudah menaikan kasus korupsi DPRD Garut ke tingkat penyidikan.
“Kami dukung Kajari Garut berantas habis Markus. Beberapa waktu lalu kita sempat sampaikan bandar Pokir (pokok pikiran) dan Markus jangan diberi ruang untuk proses ini, seperti yang terjadi pada proses sebelumnya,” ujarnya.
Hanya saja Agus Gandi memberi catatan terendiri bagi Kejaksaan, karena dari tiga kasus yang diduga kuat sebagai sumber korupsi, yaitu Fokir,BOP dan Reses ternyata Fokir menghilang dan hanya BOP serta Reses yang disidik ke tingkat penyidikan.
“Ini artinya, antara politisi yang satu dengan yang lainnya dari yang di atas maupun di bawahnya saling melindungi dalam pengamanannya. Saya kira di sini Markus masih berperan,” ungkap Agus Gandhi, Kamis (11/8/2022).
Dalam catatan GGW, politisi DPRD Garut periode 1999-2004 banyak terjerat tindak pidana korupsi (Tipikor) dengan kerugian negara mencapai Rp. 6,6 miliar. Pada periode berikutnya, yakni 2004-2009, beberapa anggota DPRD pun terjerat kasus dengan kerugian Rp. 15 miliar.
“Dari kedua kasus tersebut peran politisi cukup kuat dalam mempengaruhi kebijakan anggaran. Demikian halnya dengan dugaan korupsi politisi DPRD 2014-2019 nyaris tidak terkontrol dalam “penjarahan” APBD yang diperkiraan kerugiannya mencapai Rp. 92 milyar,” ungkapnya. (*)