Garoetpos.com, JAKARTA – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengkhawatirkan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi 9 tahun bakal menyuburkan praktik oligarki pada pemerintahan desa.
“Akomodasi atas usulan tersebut akan menyuburkan oligarki di desa dan politisasi desa,” kata Kurnia Ramadhana dalam keterangannya seperti dikutip pada Jumat (27/1/2023).
Kurnia juga memperingatkan jika wacana itu disetujui maka bakal muncul fenomena dinasti politik dalam setiap pemilihan kepala desa.
“Akibatnya, potensi sebuah desa dipimpin oleh kelompok yang sama selama puluhan tahun semakin terbuka lebar,” ujar Kurnia.
Selain itu, kata Kurnia, wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa tidak sejalan dengan semangat Reformasi 1998 dan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang menekankan pembatasan terhadap kekuasaan eksekutif. Caranya dengan memberikan batasan jelas terhadap periode maupun lama jabatan eksekutif, termasuk kades.
“Upaya untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa jelas bertentangan dengan semangat konstitusional tersebut,” kata Kurnia
Menurut Kurnia, jika kekuasaan seorang pemimpin, termasuk kades, diperpanjang maka peluang terjadinya korupsi bisa semakin besar dan merusak. Padahal menurut Kurnia, dari tren penindakan korupsi yang didata ICW setiap tahun memperlihatkan fenomena mengkhawatirkan terkait dengan pemerintahan desa.
kata Kurnia, selalu menempati urutan pertama yang paling banyak ditindak oleh aparat penegak hukum sejak 2015-2021. Selama kurun 7 tahun itu, kata Kurnia, ICW mencatat terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.
Menurut Kurnia, korupsi yang semakin meningkat di desa berjalan beriringan dengan peningkatan alokasi dana yang cukup besar untuk membangun desa. Sejak 2015-2021, kata Kurnia, pemerintah menggelontorkan anggaran dana desa sebesar Rp 400,1 triliun.
Dana itu ditujukan buat keperluan pembangunan desa, baik dalam hal fisik maupun manusia melalui program pengembangan masyarakat dan penanganan kemiskinan ekstrem. Kurnia mengatakan, korupsi yang terjadi di pemerintahan desa akan berdampak langsung dan merugikan masyarakat setempat. Menurut Kurnia, persoalan korupsi itu perlu menjadi perhatian utama pemerintah.
Sebab, kata dia, hingga saat ini, belum ada solusi dan langkah pencegahan efektif untuk menekan korupsi di desa. Sebelumnya, sejumlah kades menggelar demonstrasi untuk menuntut adanya Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), khususnya tentang masa jabatan kades.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyatakan usulan perpanjangan masa jabatan kades yang menjadi polemik bukan berasal dari pemerintah pusat, partai politik maupun Presiden Joko Widodo.
“Enggak ada keinginan dari pusat, baik kementerian maupun Presiden, parpol,” ujar Gus Halim kepada Kompas.com, Rabu (25/1/2023).
Menurut Gus Halim, panggilan akrab Abdul Halim, usulan tersebut berasal dari bawah, baik dari masukan para kades maupun masyarakat. Gus Halim mengungkapkan, semula kementeriannya berinisiatif untuk meninjau kembali UU Nomor 6 Tahun 2014. Sebab menurutnya aturan yang sudah berusia sembilan tahun itu butuh perbaikan.
“Karena desa kan perkembangannya sudah bagus. Tetapi juga masih banyak persoalan di desa. Maka revisi UU Desa dirasa diperlukan untuk pembangunan desa lebih baik,” katanya.
Menurutnya, isu perpanjangan masa jabatan kades menjadi yang paling seksi dari sekian poin pembahasan. Sehingga isu tersebut kemudian mengemuka ke publik.
“Jadi ya biasalah yang paling seksi masa jabatan, sehingga akhirnya yang masuk ke publik ya masa jabatan ini,” tutur kakak Ketua Umum PKB Muahimin Iskandar ini.
Dalam penjelasannya, Gus Halim juga menegaskan, usulan yang berkembang soal perpanjangan masa jabatan kades bukan selama sembilan tahun untuk tiga periode. Melainkan, usulan memperpanjang masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Kemudian dari perpanjangan itu, para kades hanya boleh maju kembali untuk satu periode berikutnya.
“Perlu masyarakat tahu bahwa usulan yang berkembang bukan sembilan kali tiga (periode). Tapi sembilan kali dua (periode),” kata Gus Halim. “Mereka yang mewacanakan sembilan kali tiga itu sengaja agar untuk membenturkan masyarakat dan kades. Kita tidak ingin hal itu terjadi,” tegasnya.
Dia melanjutkan, saat ini Kemendes PDTT masih menyusun hasil tinjauan untuk revisi UU Desa. Tinjauan yang dimaksud mencakup semua pasal dalam UU Desa. Baca juga: Kades Minta Masa Jabatan jadi 9 Tahun, Wapres: Akan Dipikirkan, Rasional atau Tidak “Iya seluruhnya semua pasal, perlu disesuaikan,” kata Gus Halim. Dia pun menegaskan hingga saat ini belum ada pembicaraan dengan DPR, kementerian terkait maupun pihak istana soal revisi UU ini.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Wacana Kades 9 Tahun Berpotensi Menyuburkan Praktik Oligarki di Desa”, Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2023/01/27/20513761/wacana-kades-9-tahun-berpotensi-menyuburkan-praktik-oligarki-di-desa.
Penulis : Aryo Putranto Saptohutomo
Editor : Aryo Putranto Saptohutomo