Garoetpos.com – Iringan pemuda pemudi berjalan memadati jalan sambil membawa obor di malam hari. Teriakan takbir, shalawat, bercampur dengan gelak tawa. Tak jarang suara musik qasidah dalam irama koplo serta tabuhan gendang memeriahkan suasana pawai. Kemacetan terjadi dimana-mana, karena separuh jalur kendaraan bermotor terpakai oleh iringan pawai obor.
Begitulah pemandangan kota Garut di malam 1 Muharam yang penulis lihat. Kita kenal malam itu dengan malam tahun baru Islam. Kebanyakan merayakan dengan suka cita. Bergembira dalam suasana yang meriah meskipun tak semeriah malam pergantian tahun Masehi.
Pada hari itu, beredar banyak hadis tentang keutamaan bulan Muharam atau dikenal juga dengan bulan Suro, khususnya di hari ke-10 yang dikenal dengan nama Asyuro. Informasi yang biasa kita dapat adalah bahwa di hari ini berbagai peristiwa besar terjadi, diantaranya diterimanya taubat Nabi Adam as, bahtera Nabi Nuh as berlabuh di bukit Judi, Nabi Ibrahim as diselamatkan dari api raja Namrudz, Nabi Musa as diselamatkan dari Firaun, dan Nabi Isa diangkat ke langit. Atas semua kejadian itu, kita dianjurkan untuk bersyukur kepada Allah dengan diwujudkan dengan kegembiraan.
Diantara semua peristiwa yang disebutkan, ada satu peristiwa yang sesekali saja disebut. Peristiwa itu adalah tragedi pembantaian Imam Husain cucu Nabi, keluarga, dan sahabatnya di Padang Karbala.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Muharam 61 H di Karbala, Irak. Saat itu, pihak Husain yang berjumlah 128 orang, terdiri dari keluarga dan sahabatnya berhadapan dengan 4000-30.0000 orang pasukan Yazid yang dipimpin oleh Umar bin Saad. Jumlah yang tidak sebanding. Adapun penyebabnya adalah karena Imam Husain dipaksa untuk berbaiat kepada Yazid, tapi beliau menolak karena Yazid telah dikenal memiliki akhlak yang buruk sehingga tidak pantas menjadi seorang pemimpin muslimin. Pihak Imam Husain dikepung. Mereka tidak diberi akses ke sungai Eufrat untuk mengambil air, sehingga keluarga Imam Husain yang terdiri dari perempuan, anak-anak, dan seorang bayi serta para sahabat setia beliau kehausan. Dalam kondisi tersebut, pihak Yazid memaksakan perang. Meskipun begitu, Imam Husain terus berusaha menyadarkan mereka. Para sahabat Imam Husain gugur satu per satu dan puncaknya adalah gugurnya Imam Husain dengan cara yang biadab. Tubuhnya ditembus ribuan anak panah dan tombak, diinjak kuda, dan kepalanya dipenggal. Tak cukup disitu, tenda-tenda dijarah dan dibakar, seluruh barang bawaan dirampas , kaum perempuan dan anak-anak ditangkap dan ditawan. Kehormatan keluarga Rasulullah Saw dirusak oleh pasukan Yazid. Tak cukup disitu, kepala Imam Husain dan 72 sahabatnya yang telah dipisahkan dari badan mereka, ditancapkan pada tombak satu per satu.
Heran, kenapa tragedi sebesar ini sangat jarang sekali diceritakan? Kita lebih sering mengingat kisah-kisah keselamatan para nabi terdahulu dan kita selalu dianjurkan untuk bersyukur dan bergembira. Kira-kira ada yang salah atau tidak?
Coba kita renungkan. Imam Husain adalah cucu Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw adalah penghulu para nabi. Beliau adalah pemimpin para nabi dari nabi Adam as sampai nabi Isa as. Di bulan Muharam ini, ketika para nabi mendapatkan keselamatan, Rasulullah Saw malah mendapat bencana dengan terbunuhnya cucu beliau. Kira-kira, para nabi yang merupakan “bawahan” Rasulullah Saw akan bergembira atau malah berduka?
Mungkin kita akan berpikir dan berkata,”Para nabi kan tidak tahu, wong mereka hidup jauh sebelum Imam Husain, bahkan sebelum Rasulullah Saw.” Baiklah, seandainya para nabi itu hidup di zaman Imam Husain, kira-kira mereka akan bergembira atau bersedih? Akal sehat kita akan mengatakan pasti mereka akan bersedih. Mengapa? Karena mereka adalah “bawahan” dari Rasulullah Saw dan Imam Husain adalah cucu dari “Atasan” mereka. Sekarang coba bayangkan, jika salah satu anggota keluarga atasan atau bos kita meninggal, apa kita sebagai bawahannya tidak ikut bersedih atau minimal berempati?
Lalu, bagaimana dengan perasaan Rasulullah Saw? Apakah beliau tidak bersedih dengan tragedi yang menimpa cucunya sendiri? Jangan lagi kita berpikir dan berkata bahwa “Kan Rasulullah Saw tidak tahu dan sudah tiada saat Imam Husain dibunuh..” Kembali kita tanyakan kepada diri kita, kira-kira jika beliau hidup saat terjadinya tragedi pembunuhan Imam Husain, apakah beliau tidak akan bersedih? Sekiranya yang terbunuh adalah keluarga kita, baik orang tua, anak, atau cucu kita meninggal, apakah kita tidak akan bersedih? Tentu manusia normal pasti akan bersedih.
Ada juga yang mengatakan bahwa peristiwa terbunuhnya Imam Husain adalah urusan para sahabat Nabi, jadi kita tidak perlu mengurusinya karena para sahabat adalah insan terbaik setelah Rasulullah Saw. Baik Imam Husain dan pembunuh Imam Husain sama-sama di surga. Mereka itu berijtihad. Jadi, yang benar dan yang salah sama-sama dapat pahala, hanya kadar pahalanya saja yang berbeda. Bagaimana kita bisa berkata seperti itu? Sedangkan, apa yang terjadi di Karbala bukan saja pembunuhan, tapi pembantaian. 72 nyawa melayang dalam peristiwa itu, diantaranya 1 bayi dan 1 anak kecil. Dan siapa yang terbunuh diantara mereka? Imam Husain, penghulu pemuda di surga. Dimana logikanya pembunuh penghulu surga bisa berada di surga dan mendapat pahala?
Ada juga yang mengatakan kalau peristiwa pembantaian Imam Husain tidak boleh diceritakan karena itu adalah aib. Lah, katanya Islam adalah agama yang sempurna. Lalu kenapa agama yang sempurna memiliki aib dan harus ditutupi pula?
Lebih aneh lagi, ada yang bilang bahwa Yazid tidak salah karena posisinya saat itu Yazid adalah penguasa yang sah. Justru Imam Husain yang menjadi pemberontak. Coba kita cek, tentang Imam Husain banyak sekali hadis Rasulullah Saw yang menyatakan keutamaan Imam Husain, diantaranya:
“Hasan dan Husein adalah dua pimpinan pemuda penduduk surga dan ayahnya (Ali bin Abi Thalib) lebih baik dari keduanya.” (HR at-Tirmidzi)
‘Ini adalah kedua anakku, kedua anak putriku. Ya Allah, sungguh aku mencintai keduanya, maka buatlah aku (tetap) mencintai keduanya dan aku mencintai orang yang mencintai keduanya.” (HR at-Tirmidzi)
“Husain adalah bagian dariku dan aku bagian darinya. Allah akan mencintai orang yang mencintai Husain. Husain umat dari beberapa umat.” (HR Ibnu Majah)
Dengan berpatokan terhadap hadis-hadis tersebut, sudikah nurani kita mengatakan Imam Husain adalah pemberontak? Kira-kira siapa yang lebih pantas memimpin umat? Jika harus memilih, kita mau memilih siapa? Imam Husain atau Yazid? Akal dan nurani yang bersih pasti akan memilih Imam Husain.
Rasulullah Saw dan keluarganya adalah lebih utama dari keluarga kita, bahkan nyawa kita. Allah berfirman “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka…” (Q.S Al-Ahzab: 6) Lalu, mengapa sekarang kita sebagai umat beliau terkesan tidak peduli dengan apa yang terjadi kepada Imam Husain, cucu Nabi? Rasulullah bersabda bahwa siapa yang tidak memikirkan urusan kaum muslimin, maka dia tidak termasuk muslim. Bukankah Imam Husain adalah muslim? Tidak ada yang meragukan hal itu. Jadi, urusan Imam Husain termasuk urusan kaum muslimin. Dengan demikian, siapa yang tidak memperhatikan urusan Imam Husain, berarti sesungguhnya dia tidak termasuk muslim. Apakah kita mau tidak diakui sebagai muslim?
Sebagai muslim, seharusnya kita menjadikan bulan Muharam sebagai bulan berduka. Hal itu merupakan salah satu wujud nyata syahadat kedua kita: asyhadu anna Muhammad Rasulullah. Pantaskah kita yang mengaku umat Rasulullah Saw bergembira dibulan terbunuhnya cucu beliau? Tidak! Jangan sampai ketika Rasulullah Saw menangis bersedih, kita malah bersuka cita. Kalau begitu, apa bedanya kita dengan mereka yang mengaku umat Rasulullah Saw tapi malah membunuh cucu beliau.
Di bulan Muharam ini, mari kita sama-sama mengenang kembali Imam Husain, cucu Nabi yang terlupakan. Semoga Allah dan Rasulullah Saw meridhai kita semua.
Firman Sabar
0813-2285-1642 (tlp/ wa)